Friday 3 July 2015

Menghidupkan Kembali Kehidupan Lampau

curcollogiku tentang kampung budaya sindang barang
Angklung Gubrak yang dimainkan para ibu rumah tangga yang umurnya diatas 50 tahun dengan kostum serba hitam kecuali Udeng (ikat kepala), jadi atraksi penyambut tamu yang datang ke kampung budaya Sindangbarang.
Jika merujuk kepada sejarah, Angklung Gubrag merupakan musik iring musim tanam padi. Akses jalan menuju kompleks Kampung Budaya Sindangbarang tidak beraspal, tetapi terdiri atas tatanan batu yang ditata rapi.
Dan pintu masuk memasuki alun-alun yang terbuat dari pagar bambu, mengentalkan suasan masa lampau. Dari pintu pagar masuk, lurus arah pandang mata memandang terdapat balai pertemuan yang disebut Bale Riung. Kemudian, disebelah kiri terdapat bangunan rumah adat yang ditinggali kepala kampung adat.
Disebelah terdapat jejeran rumah adat, yang diawali dengan bangunan Tempat Alu/Tumbuk Padi, dilanjutkan dengan rumah yang mirip lumbung pada. Hingga didepan Bale Riung, akses jalan bertangga dari tatanan batu menuju beberapa rumah adat lainnya, juga kian mengentalkan suasana masa lampau.
Kesebelah kanan terdapat jalan menuju toilet, yang juga dibangun dengan sedapat mungkin mendekati bangunan adat sebenarnya.
Deretan bangunan rumah adat berdinding dan langit-langit anyaman bambu/gedhek dan lantai papan kayu, selain ditinggali para penjaga adat/kokolot juga digunakan untuk berbagai kepentingan adat lainnya.
Disamping kanan rumah ketua adat, terdapat batu terbungkus kain putih, salah satu sisa sejarah yang membantu pengungkapan sejarah Sindangbarang. Dalam rumah ketua adat sendiri terdapat buku Pantun Bogor yang terdiri atas beberapa jilid.
Selain itu, tepat didepan rumah ketua adat terdapat prasasti yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat, H Dhani Setiawan tertanggal pada 4 September 2007, yang konon juga telah menggelontorkan dana dari APBD Pemkot Bogor sebesar Rp750 juta, untuk merevitalisasi dan rekonstruksi situs sejarah jadi kampung budaya Sindangbarang.
Seperti disinggung diatas, Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi sejarah yang mengacu pada Pantun Bogor dan babad pajajaran. Seluruh yang ada dibuat sedemikian rupa untuk mendekati pada kondisi masa kejayaan Kampung Sindangbarang.
Penataan jejeran pepohonan serta areal persawahan disekitar kampung budaya Sindangbarang, membantu pengunjung menuju suasana kehidupan masa lampau ditengah kehidupan adat sunda.
Hanya jaringan instalasi listrik yang berseliweran, baik yang terdapat dalam rumah maupun jaringan antara bangunan, agak mengganggu rasa untuk sebuah keinginan memasuki kampung budaya.
Instalasi listrik jelas jauh dari suasana kehidupan masa lampau. Meski energy listrik tetap dibutuhkan ditempat tersebut, salah satunya adalah untuk menguatkan suara dalam mempersentasikan sejarah Sindangbarang. Namun, mulai lingkungan hingga tiap bangunan juga harus menjelaskan kepada pengunjung tentang tehnik apa dan bagaimana nenek moyang masyarakat sindangbarang untuk memenuhi kebutuhan cahaya dalam rumah dan lingkungan pada malam hari.
Dari bagaimana dulunya kebutuhan cahaya dalam rumah itu dipenuhi, akan dapat diketahui tehnologi apa yang digunakan, bagaimana penggunaannya, serta benda-benda apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan cahaya dalam rumah dan lingkungan.
Bahkan kalaupun dahulunya kehidupan masa lampau masyarakat sindangbarang menggunakan obor, tak satupun ditunjukan adanya bambu, atau apapun bahwa mereka menggunakan obor.
Dalam rumahpun tidak ada sama sekali pentunjuk sebagai contoh masa lampau penggunaan alat penerangan cahaya, misalkan lampu teplok. Bale Riung, yang biasanya berfungsi untuk bertemu antara sesepuh adat dengan masyarakat, hany digelantungi beberapa lampu neon, dan bukan semacam potongan papan kayu ukuran 5.5 CM sebagai tempat meletakkan lampu, atau tempat meletakkan obor untuk penerangan pertemuan pada malam hari.
Mengingat sejak dahulu masyarakat merupakan petani, tidak mungkin pertemuan untuk membahas kehidupan mereka hanya pada waktu siang hari. Mungkin, rekontruksi dan revitalisasi kebudayaan sunda masih begitu terpengaruh dengan orderan sepatu dari pabrik terhadap para penjaga adat tersebut.
Memasuki rumah-rumah adat, pemandangan yang cukup menganggu mata untuk melihat kehidupan masa lampau masyarakat Sindangbarang adalah tempat tidur dari busa, baik yang terletak dimasing-masing tempat tidur, bahkan juga terdapat dalam ruang tamu.
Karena rumat adat di kampung budaya sindangbarang bukan Villa atau penginapan, seorang sejarawan atau budayawan tentu juga ingin tahu bagaimana masyarakat Sindangbarang tidur. Bagaimana model atau bentuk tempat tidur, terbuat dari apa, bagaimana membuat, bahan yang digunakan, masih ada tidak bahan-bahan tersebut saat ini.
Misalkan tempat/alas tidur tersebut terbuat dari tumbuhan, masih adakah tumbuhan tersebut saat ini, jika ada artinya syukur, jika tidak berarti ada satu jenis tumbuhan di Negara ini telah mengalami kepunahan.(**)





0 komentar :

Post a Comment

lahan tani lahan tani lahan tani lahan tani