Angklung
Gubrak yang dimainkan para ibu rumah tangga yang umurnya diatas 50 tahun dengan
kostum serba hitam kecuali Udeng (ikat
kepala), jadi atraksi penyambut tamu yang datang ke kampung budaya
Sindangbarang.
Jika
merujuk kepada sejarah, Angklung Gubrag merupakan musik iring musim tanam padi.
Akses jalan menuju kompleks Kampung Budaya Sindangbarang tidak beraspal, tetapi
terdiri atas tatanan batu yang ditata rapi.
Dan pintu
masuk memasuki alun-alun yang terbuat dari pagar bambu, mengentalkan suasan
masa lampau. Dari pintu pagar masuk, lurus arah pandang mata memandang terdapat
balai pertemuan yang disebut Bale Riung. Kemudian, disebelah kiri terdapat
bangunan rumah adat yang ditinggali kepala kampung adat.
Disebelah terdapat
jejeran rumah adat, yang diawali dengan bangunan Tempat Alu/Tumbuk Padi,
dilanjutkan dengan rumah yang mirip lumbung pada. Hingga didepan Bale Riung,
akses jalan bertangga dari tatanan batu menuju beberapa rumah adat lainnya,
juga kian mengentalkan suasana masa lampau.
Kesebelah
kanan terdapat jalan menuju toilet, yang juga dibangun dengan sedapat mungkin
mendekati bangunan adat sebenarnya.
Deretan
bangunan rumah adat berdinding dan langit-langit anyaman bambu/gedhek dan
lantai papan kayu, selain ditinggali para penjaga adat/kokolot juga digunakan
untuk berbagai kepentingan adat lainnya.
Disamping kanan
rumah ketua adat, terdapat batu terbungkus kain putih, salah satu sisa sejarah
yang membantu pengungkapan sejarah Sindangbarang. Dalam rumah ketua adat
sendiri terdapat buku Pantun Bogor yang terdiri atas beberapa jilid.
Selain itu,
tepat didepan rumah ketua adat terdapat prasasti yang ditandatangani Gubernur
Jawa Barat, H Dhani Setiawan tertanggal pada 4 September 2007, yang konon juga
telah menggelontorkan dana dari APBD Pemkot Bogor sebesar Rp750 juta, untuk
merevitalisasi dan rekonstruksi situs sejarah jadi kampung budaya Sindangbarang.
Seperti
disinggung diatas, Sindangbarang merupakan hasil rekonstruksi dan revitalisasi
sejarah yang mengacu pada Pantun Bogor dan babad pajajaran. Seluruh yang ada dibuat
sedemikian rupa untuk mendekati pada kondisi masa kejayaan Kampung
Sindangbarang.
Penataan
jejeran pepohonan serta areal persawahan disekitar kampung budaya
Sindangbarang, membantu pengunjung menuju suasana kehidupan masa lampau
ditengah kehidupan adat sunda.
Hanya
jaringan instalasi listrik yang berseliweran, baik yang terdapat dalam rumah
maupun jaringan antara bangunan, agak mengganggu rasa untuk sebuah keinginan
memasuki kampung budaya.
Instalasi
listrik jelas jauh dari suasana kehidupan masa lampau. Meski energy listrik
tetap dibutuhkan ditempat tersebut, salah satunya adalah untuk menguatkan suara
dalam mempersentasikan sejarah Sindangbarang. Namun, mulai lingkungan hingga
tiap bangunan juga harus menjelaskan kepada pengunjung tentang tehnik apa dan
bagaimana nenek moyang masyarakat sindangbarang untuk memenuhi kebutuhan cahaya
dalam rumah dan lingkungan pada malam hari.
Dari
bagaimana dulunya kebutuhan cahaya dalam rumah itu dipenuhi, akan dapat
diketahui tehnologi apa yang digunakan, bagaimana penggunaannya, serta
benda-benda apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan cahaya dalam
rumah dan lingkungan.
Bahkan
kalaupun dahulunya kehidupan masa lampau masyarakat sindangbarang menggunakan
obor, tak satupun ditunjukan adanya bambu, atau apapun bahwa mereka menggunakan
obor.
Dalam
rumahpun tidak ada sama sekali pentunjuk sebagai contoh masa lampau penggunaan
alat penerangan cahaya, misalkan lampu teplok. Bale Riung, yang biasanya
berfungsi untuk bertemu antara sesepuh adat dengan masyarakat, hany
digelantungi beberapa lampu neon, dan bukan semacam potongan papan kayu ukuran
5.5 CM sebagai tempat meletakkan lampu, atau tempat meletakkan obor untuk
penerangan pertemuan pada malam hari.
Mengingat
sejak dahulu masyarakat merupakan petani, tidak mungkin pertemuan untuk
membahas kehidupan mereka hanya pada waktu siang hari. Mungkin, rekontruksi dan
revitalisasi kebudayaan sunda masih begitu terpengaruh dengan orderan sepatu
dari pabrik terhadap para penjaga adat tersebut.
Memasuki
rumah-rumah adat, pemandangan yang cukup menganggu mata untuk melihat kehidupan
masa lampau masyarakat Sindangbarang adalah tempat tidur dari busa, baik yang
terletak dimasing-masing tempat tidur, bahkan juga terdapat dalam ruang tamu.
Karena
rumat adat di kampung budaya sindangbarang bukan Villa atau penginapan, seorang
sejarawan atau budayawan tentu juga ingin tahu bagaimana masyarakat Sindangbarang
tidur. Bagaimana model atau bentuk tempat tidur, terbuat dari apa, bagaimana
membuat, bahan yang digunakan, masih ada tidak bahan-bahan tersebut saat ini.
Misalkan
tempat/alas tidur tersebut terbuat dari tumbuhan, masih adakah tumbuhan
tersebut saat ini, jika ada artinya syukur, jika tidak berarti ada satu jenis
tumbuhan di Negara ini telah mengalami kepunahan.(**)
0 komentar :
Post a Comment